Apa itu pembajakan plus? Yaitu penipuan, pemalsuan, pembohongan dan plagiarisme!
Mencuatnya kasus plagiarisme di perguruan tinggi semakin menambah daftar coreng moreng dalam dunia pendidikan kita. Dunia pendidkan kita telah ternodai mulai dari pendidikan dasar samapi perguruan tinggi. Dunia pendidikan dasar kerap diwarnai dengan aksi penipuan, pembocoran soal ujian, penggantian jawaban dalam ujian dan mark up nilai. Lalu masuk pergruan tinggi diwarnai dengan praktek perjokian. Anda tentu ingat bagaimana praktek perjokian pada saat tes masuk yang menyeret mahasiswa-mahasiswa pintar dari universitas trernama di Negara kita. Lalu pada saat mau lulus pun mahasiswa mencari jalan pintar alias jalan pintas yaitu dengan skripsi siap saji alias skripsi bajakan. Ya skripsi siap saji karena mahasiswanya tinggal mengganti data atau tinggal menyajikan di depan dosen penguji tanpa perlu bersusah payah. Ditambah lagi dengan gelar-gelar palsu yang mudah dibeli atau didapat dengan program instan besa mendapatkan gelar S1. Dahsyat! Bukan prestasi tapi penipuannya yang benar-benar parah. Praktek-praktek di atas mengungkapkan borok-borok pendidikan kita yang tidak pernah ditangani secara serius. Tapi masih ada lagi…
Masih dari dunia pendidikan, pembajakan itu tidak hanya pembajakan yang kelihatan semacam karya tulis, manipulasi skripsi dan sebagainya. Ada pula pembajakan yang tidak kalah parahnya yaitu pembajakan ide atau proposal yang sebenarnya tergolong plagiarisme. Ada orang-orang tertentu yang selalu pintar memanfaatkan orang lain atau memanipulasi orang lain. Orang itu sebenarnya mengetahui kemampuan kita dalam membuat suatu proposal atau ide yang baru maka dia berbaik hati dengan menerima proposal atau ide kita tetapi di tingkat yang lebih tinggi proposal atau ide kita itu dicaplok dan diklaim sebagai idenya. Dengan berbangga ria dia mengatakan bahwa ini adalah hasil karyaku. Para petinggipun mengalirkan puijian dan sanjungan yang berlimpah untuk ortang itu.
Mengapa praktek-praktek pembajakan dan penipuan dalam dunia pendidikan kita seakan terus membudaya? Pasti ada banyak fakotr penyebabnya dan menurut saya faktor utama itu adalah faktor mentalitas. Mentalitas yang suka menerabas, mau gampangnya saja, tidak mau susah dan mental berpura-pura ikut memberi kontribusi besar. Mentalitas ini adalah mentalitas yang bukan cuma perusak dan pencoreng pendidikan kita tapi perusak karakter dan pwersusak bangsa. Dari manakah budaya korupsi, kolusi dan manipulasi berasal dan berakar kalau bukan dari mentalitas sepeerti ini. Bahayanya yang kita perlu takuti dan cemaskan bukan hanya para peserta didik atau para sisiwa atau mahasiswa yang memiliki mental seperti ini. Bahaya latennya adalah jika para pengajar atau dosen atau guru sendiri yang seharusnya menjadi teladan atau pemberi contoh justru melakukan hal tersebut. Mau dibawa ke mana anak-anak didik kita?
Sewaktu saya mengajar dalam kelas karakter saya mengatakan : Banggakah anda jika lulus tapi dengan hasil menyontek? Banggakah anda jika diwisuda tapi dengan modal skripsi bajakan? Orang yang melakukan hal seperti itu bukan cuma menipu orang btua, dosen, rektor tapi menipu diri sendiri. Dia bukan cuma menipu manusia tapi juga mau menipu Tuhan. Banggakah kita dengan gelar palsu yang kita peroleh dengan cara membelinya? Ingat bahwa gelar itu akan dipakai seumur hidup, banggakah kita memiliki sesuatu yang sebenarnya bukan hak kita untuk memiliki atau memakainya? Ke manakah nurani orang-orang seperti ini yang hanya karena demi gengsi atau presitise lalu menggadaikan kebenaran dan menukarnya dengan kepalsuan dan kebohongan. Inilah krisis kebenaran, krisi yang tengah kita hadapi saat ini.
Leave a Reply