Dalam rapat para wakil guru dari TK, SD dan SMP kemarin, sempat muncul satu pertanyaan yang dilontarkan seorang peserta rapat. Pertanyaannya adalah,”Apakah kita sebagai guru sudah bersuara menjawab setiap isu yang muncul di antara murid-murid kita setiap hari?” Pertanyaan ini berangkat dari refleksi apakah kita sudah cukup menasehati dan membimbing murid-murid kita dalam isu-isu kehidupan mereka sehari-hari. Misalnya dalam kasus murid SMP yang suka meributkan kapan mereka akan membawa mobil sendiri ke sekolah. Atau murid SD yang baru getol-getolnya membuat akun facebook. Atau di antara murid-murid TK yang meributkan masalah barang terbaru yang dimiliki temannya. Setelah kejadian kecelakaan maut yang menimpa siswa-siswi IPEKA, akan banyak orangtua yang bertanya-tanya adakah guru-guru pernah menasehati dan mengingatkan anak-anak mereka mengenai bahaya ngebut atau bahayanya menyetir di bawah umur.
Suara bukan sekedar bunyi. Suara adalah bunyi yang bermakna bagi pendengarnya. Suara mengandung komponen frekuensi, kekuatan, intonasi, tempo, dan ‘warna’nya sendiri yang kalau digabungkan semuanya akan membawa bukan hanya informasi tapi bisa juga perintah, permintaan, pertanyaan, amarah atau kasih sayang. Suara bisa dengan mudah mengarahkan orang lain untuk melakukan sesuatu. Pilatus yang cuci tangan karena teriakan marah massa atau Suharto yang turun tahta karena sorakan mahasiswa atau Yesus yang membungkam massa yang haus darah dengan ucapan “Yang tidak berdosa, lemparkanlah batu kepada perempuan itu.” Setiap suara bisa mengarahkan orang. Setiap suara guru bisa mengarahkan anak-anak kita, untuk selangkah lebih dekat kepada maut atau melangkah di jalan kehidupan.
Suara bisa menembus batas ruang, sesuatu yang tak bisa dilakukan gambar atau image. Orang tidak bisa melihat apa yang terjadi di ruang sebelah tapi bisa mendengar suara-suara dari ruang sebelah. Suara orang yang kita cintai bisa mencapai kedalaman hati kita kadang bahkan tanpa melalui proses berpikir lebih dulu, sedangkan bacaan harus melalui proses kognitif lebih dulu.
Suara lebih transient (sementara) sifatnya, sedangkan tulisan dan gambar lebih permanent. Di tengah dunia yang berubah dengan cepat dan selalu menawarkan hal baru kepada anak-anak kita, cara paling cepat untuk merespons adalah dengan bersuara. Tidak semua hal-hal baru itu baik. Banyak yang tidak sesuai dengan Firman Tuhan. Membuat tulisan untuk melawan yang jahat itu akan memerlukan banyak waktu. Bersuara adalah cara tercepat dalam mencegah hal-hal jahat itu masuk ke hidup anak-anak kita. Suara guru-guru menjadi tembok pertama dalam melindungi anak-anak kita dari hal-hal jahat. Suara bisa menjadi permanent efeknya kalau terus diulang-ulang. Tentu kita ingat bagaimana makian musuh kita terus terngiang-ngiang di telinga kita, demikian juga nasehat dari orang yang kita cintai bisa terngiang-ngiang di telinga kita.
Suara menuntut kita berada bersama-sama orang yang kita bimbing. Tulisan bisa dibuat dan ditinggalkan kepada anak-anak kita untuk mereka baca sendiri. Suara langsung menyatakan kehadiran kita di tengah-tengah murid kita. Bukankah ini hakekat penggembalaan, yaitu hadir dan menemani domba-domba kita? Suara siapakah yang terngiang-ngiang di telinga mereka hari-hari ini? (SS).
Saturday, March 06, 2010 4:28:00 PM
Sekedar info, penulis artikel di atas adalah Suryanto Soenarjo, Principal Secondary Sekolah Pelangi Kasih. Thx Pak Sur, buat artikelnya :) Moga menggugah para pembaca...