Mandat Budaya
Apa yang dimaksud dengan mandat budaya (cultural mandate)? Situs wikipedia memberikan definisi mandat budaya sebagai pengimplikasian iman Kristen di dalam kehidupan sehari-hari. (http://en.wikipedia.org/wiki/Cultural_mandate) Definisi ini cukup baik, tetapi kurang memadai. Mandat budaya yang benar adalah suatu mandat yang diperintahkan Tuhan sendiri kepada manusia untuk menaklukkan dan memelihara serta mengembalikan alam ciptaan-Nya itu untuk kemuliaan Tuhan. Di dalam Penciptaan, Tuhan Allah sendiri berfirman, “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi."” (Kej. 1:28) Tuhan memerintahkan manusia untuk menguasai alam ciptaan-Nya ini. Bukan hanya menguasai, Tuhan juga memerintahkan manusia untuk memeliharanya (Kej. 2:15). Artinya, Tuhan memerintahkan manusia untuk menguasai dan memelihara alam ciptaan-Nya untuk dipergunakan memuliakan-Nya selama-lamanya. Sehingga di dalam theologi Reformed, kita mengerti bahwa Tuhan memerintahkan kita bukan hanya mengurusi masalah rohani saja, tetapi juga kehidupan lain, misalnya politik, ekonomi, dll untuk menebus hal-hal tersebut bagi kemuliaan nama-Nya.
Mandat Injil (Penginjilan)
Mandat terpenting yang diajarkan oleh Alkitab bukan mandat sosial, tetapi mandat penginjilan. Banyak penganut “theologi” religionum mementingkan aspek sosial di dalam misi dengan segudang “dukungan” ayat-ayat Alkitab, padahal inti berita Alkitab bukan itu, tetapi mandat penginjilan. Mengapa? Karena penginjilan adalah mandat dari Allah sendiri yang bertujuan membebaskan umat-Nya dari dosa/kegelapan menuju kepada Terang Allah yang ajaib (1Ptr. 2:9-10). Mandat terpenting yang Tuhan Yesus perintahkan bukan untuk menolong sesama, tetapi memberitakan Injil. Mari kita menelusuri pengajaran Alkitab yang paling penting ini.
Mandat penginjilan terlihat jelas di dalam Amanat Agung di dalam Matius 28:19-20, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman."” Sebelum ayat 19, di ayat 18, Tuhan Yesus menyatakan kuasa-Nya yang berdaulat (dari Allah Bapa) baik di Surga maupun di bumi. Dasar inilah yang menjadi dasar dan sumber Tuhan Yesus memerintahkan para rasul/murid untuk memberitakan Injil. Banyak orang “Kristen” bahkan “theolog/pemimpin gereja” yang mengajarkan bahwa Matius 28:19 hanya berlaku bagi para rasul, sehingga mereka menolak urgensinya penginjilan, lalu mereka menekankan pentingnya aksi sosial saja. Bahkan seorang pemimpin gereja dari gereja Protestan arus utama sampai mengatakan bahwa yang terpenting itu memberi sesama kita makan daripada menginjili mereka. Luar biasa aneh, seorang pemimpin gereja bisa menekankan pentingnya hal lahiriah ketimbang rohaniah.
Benarkah penginjilan tidak perlu dan hanya berlaku bagi para murid? Alkitab menjawabnya TIDAK!
Yang lebih unik lagi, pengabar Injil pertama bukan para rasul, tetapi seorang perempuan Samaria. Bacalah baik-baik diskusi Tuhan Yesus dengan perempuan Samaria di Yoh. 4:5-30 dan perhatikan reaksi perempuan itu setelah mengenal Tuhan Yesus di ayat 28-30, “Maka perempuan itu meninggalkan tempayannya di situ lalu pergi ke kota dan berkata kepada orang-orang yang di situ: "Mari, lihat! Di sana ada seorang yang mengatakan kepadaku segala sesuatu yang telah kuperbuat. Mungkinkah Dia Kristus itu?" Maka merekapun pergi ke luar kota lalu datang kepada Yesus.” Hal ini sangat berlainan dengan banyak orang Kristen di zaman postmodern ini. Mereka ada yang sudah banyak belajar doktrin, tetapi malas memberitakan Injil. Bahkan tidak sedikit para pemimpin gereja (yang sudah mulai liberal, meskipun mereka tidak mau mengakuinya) menolak dengan tegas pemberitaan Injil secara verbal, sebaliknya mengajarkan pemberitaan Injil melalui perbuatan baik. Tindakan ini jelas bertentangan mutlak dengan pengajaran Alkitab.
Contoh kedua, Filipus, salah seorang pelayan gereja mula-mula adalah seorang pengabar Injil. Dokter Lukas mencatat hal ini di dalam Kisah Para Rasul 8:5, “Dan Filipus pergi ke suatu kota di Samaria dan memberitakan Mesias kepada orang-orang di situ.” (bdk. Kis. 6:5) Filipus juga memberitakan Injil kepada sida-sida dari Etiopia (Kis. 8:26-40). Dan sida-sida Etiopia itu, meskipun tidak dicatat di Alkitab, juga memberitakan Injil kepada warga Etiopia, sehingga banyak warga Etiopia menjadi pengikut Kristus. Begitu juga seorang martir Kristus pertama, Stefanus, bukan seorang rasul, tetapi seorang pelayan Tuhan di gereja mula-mula (Kis. 6:5), tetapi dia juga seorang pengabar Injil yang rela mati demi Injil (baca: Kis. 7). Siapakah perempuan Samaria, Filipus, sida-sida dari Etiopia, dan Stefanus? Mereka bukan rasul, tetapi mereka tetap memberitakan Injil Kristus secara verbal.
Mandat Budaya dan Mandat Injil
Posted on Friday, April 16, 2010
Leave a Reply